| Selain dari pemerintah, pelaksanaan program rintisan sekolah  bertaraf internasional (RSBI) sebagai jembatan menuju SBI mendapatkan  sorotan tajam dari berbagai pihak. Terutama dari para pengamat  pendidikan. Salah seorang yang memberikan tanggapan pedas mengenai  pelaksanaan program RSBI adalah Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria  Dharma. 
 
 "Hentikan aja program itu. Nggak mungkin berhasil,"  tegas Satria ketika dihubungi Jawa Pos kemarin (18/7). Satria telah  mengamati pelaksanaan program RSBI sejak awal. Menurut hasil  pengamatannya, ada 12 titik yang menjadi kelemahan program yang  sejatinya bertujuan membuat output pendidikan di Indonesia berkualitas  internasional tersebut.
 
 
 
 Kelemahan pertama RSBI, menurut Satria, ada pada konsepnya yang  lemah dan tidak didahului riset yang mendalam. Satria menyoroti  orientasi SBI = SNP + X, yang menurut dirinya tidak memiliki bentuk dan  arah yang jelas (SNP = standar nasional pendidikan). Tidak ada definisi  yang jelas mengenai apa yang disebut sebagai "X". Apakah itu standar  pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE, atau TOEFL/TOEIC,  ataukah ISO. "Dikdasmen sendiri tidak paham apa arti X itu," ucap  Satria.
 
 
 Model pengembangan RSBI yang dicanangkan pemerintah juga  dinilai salah. Dikdasmen membuat empat rumusan model pembinaan SBI,  yakni model sekolah baru (newly developed), model pengembangan pada  sekolah yang telah ada (existing school), model terpadu, dan model  kemitraan. Padahal, sebenarnya hanya ada dua model, yakni model sekolah  baru dan model sekolah yang telah ada, sedangkan yang lain hanya teknis  pelaksanaannya.
 
 
 Selama ini Dikdasmen melaksanakan model kedua.  Padahal, buku panduan penyelenggaraan RSBI mengacu pada model pertama.  Artinya, model yang dikembangkan sekarang tidak akan mungkin bisa  memenuhi kriteria untuk menjadi sekolah SBI, yang model pengembangannya  mengacu pada model pendirian sekolah baru.
 
 
 Kritik mendasar lain  ditujukan pada penggunaan bahasa Inggris di RSBI. Menurut Satria, ada  kesalahan asumsi bahwa di SBI itu kegiatan belajar mengajar (KBM)-nya  harus dilakukan dalam bahasa Inggris, dengan media pendidikan canggih,  seperti laptop dan LCD. Padahal, di negara-negara maju, seperti Jepang,  Prancis, dan Jerman, tidak perlu mengajarkan materi dalam bahasa Inggris  untuk mencapai standar internasional.
 
 
 Konsep RSBI juga dinilai  berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris  sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Pengajar  hard science (matematika dan IPA) harus memiliki TOEFL lebih dari 500.  Padahal, tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dan kemampuan mengajar  hard science dalam bahasa Inggris.
 
 
 Penggunaan bahasa Inggris  dalam penyampaian materi matematika dan IPA dinilai akan menghambat  pemahaman materi oleh siswa. Sebab, masyarakat Indonesia umumnya tidak  fasih berbahasa Inggris.
 
 
 Peluang guru-guru RSBI dalam menguasai  pemberian materi dalam bahasa Inggris juga disorot Satria. Menurut dia,  hampir mustahil membuat guru-guru, yang pada kenyataannya di  daerah-daerah pun belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih  untuk mengajar, mengajar dalam bahasa Inggris.
 
 
 Media pendidikan  yang canggih di RSBI membuat sekolah harus mengeluarkan biaya  operasional yang lebih besar sehingga memberikan legitimasi bagi sekolah  untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Akibat tingginya cost itu,  biaya pendidikan di RSBI pun lebih mahal daripada di sekolah reguler.
 
 
 Fasilitas dan sejumlah requirement untuk siswa RSBI itu juga menciptakan berbagai stigma di masyarakat.
 
 
 Kacaunya  lagi, program tersebut juga telah memberikan persepsi yang keliru  kepada orang tua, siswa, dan masyarakat. Yakni, masuk RSBI memberikan  kebanggaan dan gengsi, maka orang tua rela melakukan apa saja agar  anaknya masuk RSBI. Padahal, mereka belum tentu punya biaya untuk  mengambil sertifikasi luar negeri atau mengirim anaknya sekolah ke luar  negeri. "Orang tua hanya membeli label internasionalnya itu. Mereka  tidak tahu isinya sebenarnya apa," cetus Satria.
 
 
 Selain itu, dia  mengajak untuk berkaca pada kegagalan Malaysia melakukan program  internasional sejenis yang disebut pembelajaran sains dan matematik  dalam bahasa Inggeris (PPSMI). Sejak 2003 sekolah-sekolah di Malaysia  melakukan pengajaran sains dan matematika dengan bahasa pengantar bahasa  Inggris.
 
 
 Hasilnya, yang bisa survive hanya sekolah yang berada  di kota besar dan sekolah berasrama di kota. Untuk sekolah lain, terjadi  degradasi mutu. Karena itu, program tersebut akan dicabut pada 2012.  "Padahal, Malaysia bekas jajahan Inggris dan bahasa Inggris menjadi  bahasa kedua di sana. Bayangkan apa yang terjadi dengan Indonesia, yang  sebagian besar masyarakatnya tidak fasih berbahasa Inggris?" katanya.  (rum/c9/mik)
 
 (Dikutip dari Jawa Pos, Senin, 19 Juli 2010)
 | 
0 comments:
Posting Komentar